Kamis, 13 Agustus 2015

Bacaan Injil dan renungan: Matius 19:3-12, PW St Maximilian Kolbe, Jumat, 14 Agutus 2015

Mat 19:3
Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?"
Mat 19:4
Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
Mat 19:5
Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Mat 19:6
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Mat 19:7
Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?"
Mat 19:8
Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.
Mat 19:9
Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."
Mat 19:10
Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin."
Mat 19:11
Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.
Mat 19:12
Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."


KESETIAAN: BAHAN BAKAR UNTUK MENCAPAI KEBAHAGIAAN HIDUP


INJIL yang kita renungkan bersama pada hari ini berbicara tentang satu hal ini yaitu kesetiaan. Berbicara tentang kesetiaan sama seperti kita bicarakan tentang sebuah pengorbanan sebab tidak ada kesetiaan tanpa pengorbanan. Tentu bahwa setia yang dimaksudkan di sini bukanlah Setiap Tikungan Ada tetapi setia yang dimaksud adalah perjuangan untuk tetap menghidupi komitmen yang telah dibentuk. Dalam perkawinan Gereja Katolik yang bersifat monogami dan indisolubiditas (tak terceraikan), kesetiaan adalah bahan bakar untuk mencapai tujuan dari sebuah perkawinan. Sebagai bahan bakar tentunya mutlak dibutuhkan untuk menggerakkan roda kehidupan sebuah keluarga.

Menjadi suami dan istri berarti suatu perubahan total dalam kehidupan seseorang. Dalam kitab Kejadian dikatakan: “Seorang laki-laki meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Orang meninggalkan masa hidupnya sebagai anak dan mulai hidup sebagai suami-istri. Hidup itu tidak berarti hidup dua orang bersama, tetapi hidup menjadi satu orang (dalam bahasa Ibrani “daging” berarti makhluk, khususnya manusia). Dengan demikian mau diungkapkan kesatuan dalam perkawinan atau “monogami”. Itulah arti yang oleh Yesus diberikan kepada ayat ini dalam Mat 19:5: “Laki-laki akan meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”

Kesatuan dalam perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja. Suami-istri sungguh satu manusia baru. Suami hidup dalam istrinya, dan istri dalam suaminya. Kesatuan mereka bukan hanya kesatuan badan, melainkan meliputi hidup seluruhnya, jiwa dan badan. Oleh karena itu kesatuan suami-istri juga menyangkut iman mereka. Di hadapan Allah dan dalam persatuan dengan Kristus mereka itu satu. Maka hubungan dengan Kristus yang pernah diikat dalam pembaptisan sebelum nikah, lain daripada persatuan dengan Kristus sebagai suami-istri. Mereka yang dibaptis sebagai suami-istri langsung berhubungan dengan Kristus sebagai suami-istri. Maka mereka tidak perlu menerima sakramen perkawinan lagi. Mereka sudah menikah waktu dibaptis. Mereka dari semula menjadi anggota Gereja sebagai orang berkeluarga. Sebaliknya mereka yang pernah menjadi anggota sebagai anak atau sebagai pemuda dan pemudi harus “memperbarui” keanggotaan mereka dan menjadi anggota yang berkeluarga. Hal itu terjadi dengan sakramen perkawinan. Maka sakramen perkawinan juga menyangkut keanggotaan Gereja.

Tetapi janganlah sakramen perkawinan dianggap suatu formalitas saja guna membereskan “KTP gerejawi”, Surat Efesus menyebutnya “misteri agung”. Itulah penafsiran berhubungan dengan Kej 2:24, yang telah dikutip di atas.

Sebab oleh kesatuan dengan Kristus hubungan suami-istri termasuk “misteri’ Allah. Artinya, karena kesatuan dengan Kristus karya Allah dinyatakan dan dilaksanakan dalam perkawinan. Sama seperti sakramen tobat begitu juga untuk sakramen perkawinan tidak ditentukan upacaranya dalam Kitab Suci. Bahkan mengenai inti perkawinan serta sifat sakramentalnya, jarang disebut. Cinta perkawinan mereka mengambil bagian dalam cinta Kristus kepada Gereja-Nya. Dengan demikian ditunjukkan yang paling pokok dalam setiap sakramen yaitu arti keselamatannya. Suami-istri dalam kesatuan dengan Kristus diselamatkan oleh cinta perkawinan mereka sendiri.

Itulah sebabnya Yesus dalam Injil tadi menekankan pentingnya kesetiaan. Tanpa kesetiaan maka semua yang disebutkan di atas akan menjadi sia-sia belaka. Mari kita belajar untuk setia karena dalam setia kita akan menemukan kekuatan dari sebuah cinta yang sesungguhnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar