Selasa, 30 Juni 2015

Bacaan Injil dan Renungan: Matius 8:28-34, Rabu, 1 Juli 2015

Mat 8:28
Setibanya di seberang, yaitu di daerah orang Gadara, datanglah dari pekuburan dua orang yang kerasukan setan menemui Yesus. Mereka sangat berbahaya, sehingga tidak seorangpun yang berani melalui jalan itu.
Mat 8:29
Dan mereka itupun berteriak, katanya: "Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?"
Mat 8:30
Tidak jauh dari mereka itu sejumlah besar babi sedang mencari makan.
Mat 8:31
Maka setan-setan itu meminta kepada-Nya, katanya: "Jika Engkau mengusir kami, suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu."
Mat 8:32
Yesus berkata kepada mereka: "Pergilah!" Lalu keluarlah mereka dan masuk ke dalam babi-babi itu. Maka terjunlah seluruh kawanan babi itu dari tepi jurang ke dalam danau dan mati di dalam air.
Mat 8:33
Maka larilah penjaga-penjaga babi itu dan setibanya di kota, diceriterakannyalah segala sesuatu, juga tentang orang-orang yang kerasukan setan itu.
Mat 8:34
Maka keluarlah seluruh kota mendapatkan Yesus dan setelah mereka berjumpa dengan Dia, merekapun mendesak, supaya Ia meninggalkan daerah mereka.

RENUNGAN
Kita selalu berhadapan dengan banyak pilihan dalam hidup kita sehari-hari. Karena saking banyaknya pilihan, kadang situasi dilematis begitu menguras pikiran kita. Pilihan-pilihan ini  muncul karena keinginan manusia yang tanpa batas dan juga karena soal selera dan kecocokan.
Penginjil Matius dalam warta sabdanya pada hari ini menggambarkan mukjisat yang di adakan Yesus di daerah orang Gadara. Dalam kisah ini juga sebenarnya menggambarkan pilihan dalam hidup. Setelah Yesus  mengusir setan-setan dari kedua  orang yang mendiami pekuburan, orang-orang Gadara dihadapkan pada dua pilihan. Menerima Yesus masuk dalam kota mereka atau menolaknya masuk karena telah menimbulkan kerugian yang begitu besar.  Dalam ending kisah ini disebutkan ternyata orang Gadara lebih memilih untuk menolak Yesus untuk keluar dari daerah mereka. Dan Yesus menghormati pilihan mereka lalu meninggalkan daerah itu dan melanjutkan perjalanan ke Yerusalem.
Bila kita membaca keseluruhan injil, banyak kali akan kita temukan bagaimana antusiasnya orang ketika Yesus akan memasuki kota mereka. Mereka ingin agar Yesus masuk ke kota mereka dan hadir bersama mereka, sampai-sampai  Zakheus harus memanjat sebuah pohon karena begitu antusiasnya untuk melihat Yesus. Ia kemudian memperoleh keselamatan. Wanita yang sakit pendarahan selama 12 tahun harus rela berdesak-desakan untuk menerima Yesus masuk ke kota mereka, oleh imannya dan penyambutannya, Ia disembuhkan. Tetapi orang-orang Gadara justru menolak Yesus. Mereka lebih memilih harta mereka ketimbang Yesus.

Berangkat dari kisah injil hari ini, apa yang menjadi pilihan kita? Tidak bisa untuk kita pungkiri bahwa dalam praktek hidup kita, Tuhan ada juga dalam sebuah pilihan hidup kita. Kemutlakan Tuhan kadang kalah dalam pilihan yang kita jatuhkan. Tuhan tersisih di antara pilihan-pilihan yang lain. Belajar dari kisah injil ini maka hendaknya kita senantiasa memilih kehidupan supaya senantiasa ada keselamatan dan ada kehidupan itu sendiri.  Ini hanya akan kita temukan dalam Yesus.

Senin, 29 Juni 2015

Bacaan Injil dan Renungan:Matius 8:23-27; Selasa, 30 Juni 2015, Para Martir Pertama di Roma



Bacaan Injil:


Mat 8:23  Lalu Yesus naik ke dalam perahu dan murid-murid-Nyapun mengikuti-Nya.
Mat 8:24  Sekonyong-konyong mengamuklah angin ribut di danau itu, sehingga perahu itu ditimbus gelombang, tetapi Yesus tidur.
Mat 8:25  Maka datanglah murid-murid-Nya membangunkan Dia, katanya: "Tuhan, tolonglah, kita binasa."
Mat 8:26  Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?" Lalu bangunlah Yesus menghardik angin dan danau itu, maka danau itu menjadi teduh sekali.
Mat 8:27  Dan heranlah orang-orang itu, katanya: "Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?"


Renungan :

Kisah injil yang kita dengar bersama tadi sangat cocok untuk kita jadikan sebagai kekuatan dalam pergumulan hidup kita setiap hari. Kisah bagaimana Yesus hadir dalam badai. Ketika perahu yang ditumpangi Yesus terombang-ambing oleh badai yang menerjang dan ketika para murid dibuat panik, ketika itu Yesus bangun dan menghardik badai itu. Kehidupan itu sendiri sering dihayati sebagai bahtera yang berlayar di laut lepas yang tidak selamanya tenang dan datar, namun bisa sesewaktu begitu bergelora. Dari bacaan injil tadi kita diajak untuk merefleksikan beberapa hal ini:

Pertama: Ikut Yesus masuk dalam Perahu

Tidak ada laut tanpa ombak. Tak ada hidup tanpa masalah. Setiap orang tentu memiliki masalah dalam hidupnya. Bahkan ada saat-saat ketika masalah itu begitu besar dan berat kita merasa bahwa Tuhan sedang tidur atau tidak ada bersama kita. Namun hari ini kita diingatkan agar tetap setia kepada tujuan hidup kita. Sebab itu masalah apapun itu yang kita hadapi dalam perjalanan hidup ini tidak boleh membatalkan tekad kita mencapai tujuan.meskipun dalam kenyataan banyak orang ketika badai atau masalah datang, membiarkan dirinya terperangkap dan larut dalam masalah itu, sehingga melupakan tujuannya. Atau bahkan menciptakan pelarian2 karena tidak kuat menangung persoalan dalam hidup. Hari ini kita hendak disadarkan, agar ketika masalah datang apalagi beruntun dan bertubi, agar kita kembali mengingat akan tujuan kita yang sebenarnya yaitu ikut Yesus masuk dalam perahu dan berlayar bersama-Nya. Tuhan tidak pernah menjanjikan laut tenang, atau cuaca yang selalu baik, tetapi Tuhan menjanjikan pelabuhan tujuan yang indah! itu artinya badai, angin, hujan atau apapun masalah yang ada tidak boleh membatalkan tujuan kita yaitu bersama Yesus, kita sampai ke tujuan akhir pelayaran kita yaitu pelabuhan yang damai.

Kedua: Berani menghadapi masalah

Yesus mengajak kita agar berani menghadapi masalah demi masalah dan mengatasinya. Kisah Yesus dan murid-muridNya di danau Galilea hari ini mengajak kita membentuk sikap berani menghadapi masalah. Dalam perjalanan itu Yesus memilih untuk tidur. Biasanya Tuhan selalu diceritakan berada di depan dan terjaga, namun kali ini justru Dia di belakang dan tidur lelap. Itu dapat ditafsirkan bahwa Tuhan memang sengaja melatih dan menempa murid-muridNya dahulu agar selalu berani dan kuat menghadapi ombak, badai, atau masalah yang setiap saat bisa datang menghadang. Ini adalah suatu bahan permenungan atau refleksi kehidupan yang sangat dalam. Baiklah kita juga sadar bahwa sebagian besar masalah dalam hidup ini tidak bisa selesai dengan sendirinya. Membiarkan atau menutup mata terhadap masalah seringkali hanya akan membuat masalahnya semakin parah dan berat. Takut dan bersembunyi hanya akan membuat masalah itu “hilang sesaat” namun tetap ada dan potensial merusak kehidupan. Maka hendaknya kita perlu menghadirkan Yesus dalam perahu-perahu hidup kita. Mungkin kita tidak bisa seperti Tuhan yang mampu menghentikan badai hanya dengan satu kata. Sebagai orang beriman kita juga harus berpikir dan berjuang keras, menggunakan segala daya yang dikaruniakan Tuhan, untuk keluar dari berbagai krisis dan kesulitan. Namun satu hal yang harus kita lakukan adalah seperti yang dilakukan para murid, mengikuti Yesus masuk ke dalam perahu.

Ketiga: Tuhan menawarkan kita hati yang damai dan gembira.

Tak ada laut yang tidak berombak. Tiada hidup yang tak punya masalah. Tak ada kekristenan tanpa salib. Walaupun laut bergelora, hidup punya banyak masalah, hati kita hendaknya tetap tenang dan damai. Kita bisa tetap bersukacita dan bersemangat menghadapi ragam masalah atau gelombang hidup itu. Mengapa? karena Tuhan ada dalam perahu dan bersama kita. Kehadiran dan penyertaan Tuhan itu sumber ketenangan bagi kita. Tempat bersandar yang paling nyaman di saat kita didera berbagai persoalan hidup adalah berlari pada DIA yang sanggup memberi ketenangan dan itu hanya akan kita temukan dalam Yesus. Bersama Yesus, badai itu pun pasti akan berlalu! amin.





Minggu, 28 Juni 2015

BACAAN INJIL DAN RENUNGAN: SENIN, 29 JUNI 2015, Hari Raya Santo Petrus dan Santo Paulus

BACAAN INJIL: MATIUS 16:13-19

Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" Jawab mereka: "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi." Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Kata Yesus kepadanya: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.

RENUNGAN

BERBAHAGIALAH ENGKAU...............

Hari ini kita merayakan Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, dua orang Rasul besar dalam sejarah Gereja. Petrus yang menjadi Batu Karang bagi Gereja dan Santo Paulus Yang menjadi Rasul Para Bangsa. Kiprah kedua Rasul besar ini tentu tak bisa disangkal bagi perkembangan Gereja. Keduanya menjadi istimewa karena mereka telah mencapai puncak kebahagiaan iman mereka baik semasa hidup di dunia dan hidup di akhirat. Berbicara tentang puncak kebahagiaan iman, Santo Thomas Aquinas dalam konsepnya tentang Eudaimonisme atau Kebahagiaan membedakan dua hal ini yaitu antara kenikmatan dan kebahagiaan. Kenikmatan dilihat oleh Santo Thomas Aquinas sebagai sebuah kesementaraan dan kebahagiaan dilihatnya sebagai sebuah keabadian. kesementaraan karena dalam hitungan detik kenikmatan atau kesenangan itu akan lenyap sedangkan kebahagiaan itu tetap melekat dan menghantar pada sebuah keabadiaan. Selanjutnya Santo Thomas Aquinas mengatakan bahwa puncak dari kebahagiaan adalah Visio Beatifica, memandang wajah Allah dari wajah ke wajah dan berbicara dengan Allah dari hati ke hati.
Dalam injil Matius yang kita renungkan ini ada sebuah ungkapan yang menarik untuk kita renungkan yaitu: "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus......” Simon dikatakan berbahagia karena melalui keakraban, melalui relasinya dengan Yesus, ia mengetahui siapa itu Yesus bagi dirinya. Pengenalan akan Yesus oleh Simon ini dibangun dari sebuah keakraban, dari sebuah keintiman bersama Yesus. Maka kemudian ia layak mendapat ungkapan berbahagialah.... Pada titik ini Simon mencapai titik visio beatificanya karena ia bukan saja membangun sebuah keakraban tetapi ia mampu untuk melihat dengan mata imannya, siapa sosok yang ada di hadapannya. Bukan saja sosok yang ia kenal dalam perjumpaan di Galilea, bukan saja sosok yang mengangkat dia dari keterpurukan tetapi lebih dari itu Sosok yang ada di hadapannya adalah Mesias Putera Allah yang Maha Tinggi, sosok Putera Allah yang menjelma menjadi manusia.
Pertanyaan refleksi untuk saya dan anda sekalian, sejauh mana kita membangun keakraban bersama Yesus? Sejauh mana pengenalan kita akan sosok Yesus bagi diri kita? Dalam berbagai cerita hidup kita, Yesus hadir dan menyatakan Diri. Hanya apakah seperti Simon, kita mampu untuk melihatNya dengan mata iman kita? Jalan menuju visio beatifica untuk diri kita masing-masing terpampang di depan kita bila kita sungguh mengenal, membangun keakraban bersama Dia yang menjadi puncak kebahagiaan iman kita. Santo Petrus dan Santo Paulus berhasil untuk membaharui diri mereka karena keakraban mereka bersama Yesus. Mereka mencapai visio beatifica karena bagi mereka Yesus adalah segalanya. Mari kita pun pertajam mata iman kita dengan membangun keakraban bersama Yesus sahabat setia kita.


Sabtu, 27 Juni 2015

BACAAN INJIL DAN RENUNGAN: MINGGU, 28 JUNI 2015, MINGGU BIASA XIII

BACAAN INJIL

Mrk 5:21Sesudah Yesus menyeberang lagi dengan perahu, orang banyak berbondong-bondong datang lalu mengerumuni Dia. Sedang Ia berada di tepi danau,

Mrk 5:22datanglah seorang kepala rumah ibadat yang bernama Yairus. Ketika ia melihat Yesus, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya

Mrk 5:23dan memohon dengan sangat kepada-Nya: "Anakku perempuan sedang sakit, hampir mati, datanglah kiranya dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, supaya ia selamat dan tetap hidup."

Mrk 5:24Lalu pergilah Yesus dengan orang itu. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan berdesak-desakan di dekat-Nya.

Mrk 5:25Adalah di situ seorang perempuan yang sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan.

Mrk 5:26Ia telah berulang-ulang diobati oleh berbagai tabib, sehingga telah dihabiskannya semua yang ada padanya, namun sama sekali tidak ada faedahnya malah sebaliknya keadaannya makin memburuk.

Mrk 5:27Dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya.

Mrk 5:28Sebab katanya: "Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh."

Mrk 5:29Seketika itu juga berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya sudah sembuh dari penyakitnya.

Mrk 5:30Pada ketika itu juga Yesus mengetahui, bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya, lalu Ia berpaling di tengah orang banyak dan bertanya: "Siapa yang menjamah jubah-Ku?"

Mrk 5:31Murid-murid-Nya menjawab: "Engkau melihat bagaimana orang-orang ini berdesak-desakan dekat-Mu, dan Engkau bertanya: Siapa yang menjamah Aku?"

Mrk 5:32Lalu Ia memandang sekeliling-Nya untuk melihat siapa yang telah melakukan hal itu.

Mrk 5:33Perempuan itu, yang menjadi takut dan gemetar ketika mengetahui apa yang telah terjadi atas dirinya, tampil dan tersungkur di depan Yesus dan dengan tulus memberitahukan segala sesuatu kepada-Nya.

Mrk 5:34Maka kata-Nya kepada perempuan itu: "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu!"

Mrk 5:35Ketika Yesus masih berbicara datanglah orang dari keluarga kepala rumah ibadat itu dan berkata: "Anakmu sudah mati, apa perlunya lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru?"

Mrk 5:36Tetapi Yesus tidak menghiraukan perkataan mereka dan berkata kepada kepala rumah ibadat: "Jangan takut, percaya saja!"

Mrk 5:37Lalu Yesus tidak memperbolehkan seorangpun ikut serta, kecuali Petrus, Yakobus dan Yohanes, saudara Yakobus.

Mrk 5:38Mereka tiba di rumah kepala rumah ibadat, dan di sana dilihat-Nya orang-orang ribut, menangis dan meratap dengan suara nyaring.

Mrk 5:39Sesudah Ia masuk Ia berkata kepada orang-orang itu: "Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak ini tidak mati, tetapi tidur!"

Mrk 5:40Tetapi mereka menertawakan Dia. Maka diusir-Nya semua orang itu, lalu dibawa-Nya ayah dan ibu anak itu dan mereka yang bersama-sama dengan Dia masuk ke kamar anak itu.

Mrk 5:41Lalu dipegang-Nya tangan anak itu, kata-Nya: "Talita kum," yang berarti: "Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!"

Mrk 5:42Seketika itu juga anak itu bangkit berdiri dan berjalan, sebab umurnya sudah dua belas tahun. Semua orang yang hadir sangat takjub.

Mrk 5:43Dengan sangat Ia berpesan kepada mereka, supaya jangan seorangpun mengetahui hal itu, lalu Ia menyuruh mereka memberi anak itu makan.

RENUNGAN

Sering kita mendengar ada ungkapan yang mengatakan, “Saya hanya akan percaya ketika sudah melihatnya. ungkapan ini mau menunjukkan bahwa untuk meyakinkan seseorang akan sebuah hal maka perlu bukti kongkrit perlu hal yang nyata untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan sungguh-sungguh benar adanya. dalam sisi kehidupan yang lain terutama dalam kehidupan iman, sering ungkapan yang sama juga terlontar. saya hanya akan beriman, saya hanya akan percaya bila saya telah melihat dengan mata sendiri, apa yang dilakukan oleh Tuhan buat diri saya atau buat orang lain. atau ada juga yang mengatakan“Jika saya tidak dapat melihat dan merasakannya, maka saya tidak percaya mukjizat itu ada. Hari ini dalam ekaristi ini teruatama dalam bacaan injil yang barusan kita dengar bersama tadi, Yesus mengajrakan kepada kita cara pandang yang lain dalam hubungan dengan pengungkapan iman kita.” Sungguh berbeda dengan cara TUHAN yang mengajarkan, “Saat engkau mempercayainya, maka engkau akan melihat dan merasakan mukjizatmu.” Ini adalah definisi dari IMAN, ini adalah bahasa iman yang didalamnya mengandung sebuah ajakan untuk percaya lebih dahulu sebelum melihat bukti dengan mata jasmani. cara pandang dengan mata iman memang berbeda dengan cara pandang mata jasmani.
bila kita membaca keseluruhan kisah injil tadi terutama dalam bagian tentang wanita pendarahan, kita akan menemukan hal ini. dalam kepadatan manusia yang berdesak-desakan untuk melihat Yesus, tentunya ada banyak orang yang menjamah jubah YESUS, tetapi tidak ada yang terjadi terhadap mereka. Sederhananya karena mereka tidak menjamah jubah YESUS dengan IMAN. Sedangkan ketika si wanita pendarahan selama 12 tahun ini mendekati dan menjamah YESUS dengan IMAN, saat itu juga ada kuasa yang keluar dari YESUS menyembuhkan si wanita ini.
Sesuatu yang dia dengar tentang YESUS membangkitkan IMAN-nya dan membuatnya percaya bahwa YESUS sanggup menyembuhkan penyakitnya. Si wanita ini percaya terlebih dahulu pada kebaikan, kemurahan, dan kuasa YESUS, sebelum melihat mukjizat terjadi pada dirinya. Tubuhnya masih kesakitan ketika dia berkata, “Asal kujamah saja jubahNYA, aku akan sembuh,” tetapi dengan IMAN-nya dia percaya bahwa YESUS telah memberikan kesembuhan tersebut baginya.  Sesaat jubah YESUS dipegangnya, kesembuhan terjadi.
saudara dan saudariku, dengan cara yang sama TUHAN ingin Kita mempercayaiNYA. TUHAN ingin kita percaya kepada setiap janji dan perkataan yang telah diucapkanNYA. Tidak peduli seberapa buruk kondisi Kita hari ini atau seberapa jauh Kita telah meninggalkanNYA, di saat Kita percaya dengan IMAN Kita, dan mulai mendekat menjamah jubahNYA, Kita akan melihat sesuatu yang besar terjadi di dalam hidup Kita, sesuatu yang mengubah, memulihkan, dan menggerakan Kita. menjamah jubah Yesus, itu berarti kita bergerak mendekati Dia, tidak mungkin kita menyentuh jubah Yesus dari jauh tetapi harus dekat. bergerak mendekati Yesus itu berarti kita membangun sebuah keintiman, membangun sebuah relasi dengan Yesus yang sanggup untuk menyembuhkan. menjamah jubah Yesus itu juga berarti kita menyadari kerapuhan dan keterbatasan diri kita sebagai seorang manusia di hadapan Tuhan yang Maha Besar. ketika kita menyadari siapa diri, menyadari kerapuhan dan keterbatasan yang ada dalam diri kita maka ketika itu kemahakuasaan dan kebesaran Tuhan akan mengangkat kita dan berkata, "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu!" mari kita selalu berusaha “mendekati” Yesus agar kita mampu menjamah jumbai jubah-nya, karena jarak antara kita dan DIA hanya sejauh lutut dan lantai. Amin.

Rabu, 10 Juni 2015

Untuk Menerima Pengampunan, Kita Harus Memberi Pengampunan



Kawan, kuingat betul saat setelah imam tua itu memberikan absolusi sebagai tanda pelepasan dari dosa-dosaku, ucapan terima kasih sebanyak 5 kali terucap dari bibirku sebagai tanda betapa bahagianya hatiku ketika mendapatkan pengampunan itu.

Sebagai hari terakhir dari refleksi tentang dosa, suster pembimbing mengajakku untuk mendatangi kamar pengakuan. Kumasuki kamar pengakuan itu dengan sedikit perasaan gelisah dan tidak tenang karena dosa-dosaku. Di hadapan imam tua itu, aku menuturkan dosa-dosaku satu persatu. "Bapa,aku telah mencoba untuk mengampuni yang bersalah padaku tapi satu hal yang tidak bisa hilang dari benak dan hatiku, yakni AKU TAK BISA MELUPAKAN mereka yang menyakitku dan perbuatan-perbuatan mereka". Si imam tua itu mendengarkanku dengan penuh seksama setiap ungkapan dosaku dan tanpa ekspresi kebosanan Ia berkata kepadaku sambil tersenyum :"Syukur bahwa kamu belum bisa melupakan mereka yang bersalah padamu." Aku memandangnya penuh keheranan dan rupanya Ia tahu aku lagi bingung dengan kata-katanya. Ia menyambung: Ya karena kamu masih sadar bahwa kamu adalah manusia. Ketidakmampuanmu untuk melupakan mereka yang melukaimu,  mengungkapkan sisi kemanusiaanmu.  Memangnya kamu pikir kamu itu ALLAH yang sanggup mengampuni dan melupakan dosa-dosa umat-Nya dalam hitungan waktu?  Tapi satu hal yang indah bahwa dengan tindakan mengampuni, engkau telah berlaku seperti ALLAH. Dengan keheranan lagi aku bertanya: "Bagaimana mungkin aku yang lemah ini berlaku seperti Allah? Dengan raut muka kebapaan, si imam tua itu menjawabku: "Ya anakku, engkau seperti Allah dalam tindakan mengampuni." Cinta Allah secara penuh terekspresi dalam  tindakan mengampuni. Bacalah Kitab Suci dengan cermat dan tanyakanlah, berapa kali umat Israel menyakiti hati Yahwe dengan dosa-dosa mereka? Dosa mereka telah melukai hati-Nya, tapi IA tetap memberikan pengampunan kepada mereka bila mereka menyatakan pertobatan mereka dengan sungguh. Renungkanlah kata-kata Yesus di salib dan kamu akan mengerti; "Bapa, ampunilah mereka (ya mereka yang menyiksa dan membunuhku) karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."(Luk. 23:34). Sebab bagi Allah, setiap kali kita berdosa, itulah kesempatan bagi-Nya untuk menemukan cara lain dalam tindakan mencintai kita lewat pengampunan.  Itulah mengapa Yesus mengajak para murid-Nya untuk menjadi sempurna sama seperti Bapa yang sempurna itu. Kita tidak bisa menjadi sempurna tapi kita berjuang menuju pada kesempurnaan, dan itu hanya kita gapai dalam persatuan dengan DIA yang adalah sempurna.

Dapatkah engkau melukiskan kebahagiaan seseorang yang melakukan kesalahan /dosa berat dan menerima pengampunan dari orang yang dilukai? Dapatkah engkau melukiskan dengan kata-kata, kebahagiaan si anak  hilang ketika ayahnya tak pernah membencinya setelah berdosa, bahkan sebaliknya, ia berlari dan mendapatkan, memeluk dan menciumnya bahkan mengadakan pesta besar menyambut kedatangnnya kembali? (Luk. 15 : 11-32).
Oleh karena itu, kita hanya bisa menjadi sempurna seperti Bapa yang adalah sumber dan pusat kesempurnaan bila kita mampu/berani mengampuni yang bersalah kepada kita. Mengampuni adalah tindakan penyangkalan diri dan memikul salib,  tapi bukankah itulah syarat yang diminta oleh Yesus kepada para pengikut-Nya? (Luk.9 : 23-24).   Dan, dalam doa yang diajarkan oleh Yesus, mengampuni orang lain adalah syarat untuk menerima pengampunan dari Allah (Mat. 6 : 9-15). 

Kawan, apa yang kurasakan saat itu, di kamar pengakuan itu? Bagaikan duduk di hadirat Allah yang kudus. Lewat pandangan pengampunan dari si imam tua itu, Allah memandangku dan aku memandang-Nya dalam gelora cinta yang tak terpadamkan. Kemudian si imam tua itu berkata; Anakku, itulah cinta Allah lewat tindakan pengampunan yang tercurah padamu hari ini. Bersyukurlah karena DIA-lah yang mengundangmu untuk menerima rahmat pengampunan ini. Pulanglah dalam damai Tuhan.

Kawan, mengatakan bahwa kita tidak berdosa adalah sebuah kesombongan dan tindakan penipuan diri, menurut Rasul Paulus.  Tapi satu hal yang Allah buat saat ini ketika Anda berdosa adalah DIA SEDANG MENANTIMU KAPAN ENGKAU KEMBALI KEPADANYA.  Ingatlah, bagi Tuhan, waktu tidak penting, tapi yang DIA harapkan adalah DATANGLAH  kepada-Nya maka kamu akan mendapatkan kelegaan.

Cukuplah menjadi Lilin yg dapat menerangi sekitar kita


Suatu sore menjelang matahari terbenam, ada seorang lelaki tua berjalan di pinggir pantai sambil menikmati angin laut & desiran ombak yg tenang.
Di kejauhan ia melihat seorang anak sedang memungut bintang laut yg terdampar & melemparkannya lagi ke tengah laut.
Lelaki tua itu pun segera menghampiri anak itu & bertanya,
"Mengapa kamu mengumpulkan & melemparkan kembali bintang laut itu ke dalam air?"

"Karena bila bintang laut ini di biarkan hingga matahari pagi terbit,
bintang laut yg terdampar ini akan mati kekeringan." Jawab anak itu
"Tepi pantai ini sangat luas,& liatlah begitu banyak bintang laut yg terdampar di sini.
Aku ragu apakah usahamu itu sungguh mempunyai arti yg besar."
Anak itu mulai memandang bintang laut yg ada di tangannya tanpa berkata sepatah katapun.
Setelah agak lama memandang bintang laut itu, lalu ia berkata,
"Saya yakin usahaku sungguh memiliki arti yg besar,
meskipun tidak untuk semua bintang laut yg terdampar,
tapi setidaknya bagi yg satu ini."
Lalu ia melemparkannya ke tengah laut lagi agar bintang laut itu selamat & hidup.
Berbuatlah baik meskipun sekecil apapun,
n a m u n dampaknya tetap sebuah Kebaikan yg akan bermakna besar.
BILA...
tak dapat menjadi jalan Besar,
Cukuplah menjadi jalan Setapak yg di lalui orang.
BILA...
tak dapat menjadi Matahari,
Cukuplah menjadi Lilin yg dapat menerangi sekitar kita.

Selasa, 09 Juni 2015

Patung Kristus Raja, Wisata Rohani Timor Leste

Patung Kristus Raja yang terletak di Bukit Fatucama sebelah timur Kota Dili, merupakan objek wisata rohani popular di Timor Leste. Setiap Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur, kawasan ini menjadi serbuan warga Dili untuk melepas penat. Bukan saja warga lokal namun warga asing juga datang untuk menikmati pemandangan alam, sekaligus sebagai sumber inspirasi rohani.

Sebelum mencapai Puncak Kristus Raja yang merupakan tempat kudus bagi umat Katolik ini, kita akan melewati 14 stasi, yakni tempat berdoa bagi umat Katolik. 14 stasi ini melambangkan tempat perhentian Yesus Kristus dalam kisah sengsaranya di Bukit Golgota.

Selain Patung Kristus Raja, di bawah Bukit Fatucama ini terdapat kawasan pantai pasir putih yang indah, yang menghadap Kota Dili. Setiap Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur, tempat ini menjadi pilihan warga setempat.

Patung Kristus Raja dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, tepatnya pada 1996, dua tahun sebelum lengsernya era Orde Baru. Patung ini mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai patung tertinggi di Indonesia. Patung ini dibuat oleh seorang umat muslim dan 35 pekerja, dengan tinggi mencapai 27 meter. Tinggi patung ini melambangkan Timor Timur sebagai provinsi ke-27.

Patung ini merupakan patung tertinggi ke-2 di dunia setelah patung Christ Redemeer yang tingginya mencapai 38 meter di atas puncak Gunung Corcovado, di Taman Nasional Hutan Tijuca, Kota Rio De Janeiro, Brasil.

Jumat, 05 Juni 2015

Gua Maria Bitauni

Terletak ditepi jalan utama trans Timor dari Kupang – Belu sampai Dili (Republic Democratic Timor Leste). Berjarak ± 25 km kearah Timur dari Kefamenanu. Merupakan gua alam tempat ziarah utama bagi masyarakat Katolik di TTU dan sekitarnya bahkan di seluruh Indonesia dan manca Negara.
Gua ini berada di sebuah bukit batu yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Gua ini pada mulanya adalah benteng dan tempat persembunyian bagi suku tertentu ketika masih terjadi perang antar suku di wilayah TTU. Pertama kali ditemukan oleh Pater Petrus Noyen, SVD dan Pater Arnoldus Verstraelen, SVD pada tahun 1913.
Patung Bunda Maria yang sekarang ditempatkanoleh Pater J. Smit, SVD. Misa Jumat Agung bagi umat Katolik di Kecamatan Insana biasanya di laksanakan diareal gua ini. Pada bulan Mei dan Oktober (Bulan Maria) para peziarah harus sabar dalam antrian untuk berdoa karena padatnya peziarah yang datang.

PERTOBATAN: MEMETIK BUAH PEDULI DAN BERBAGI

SESI I:
PERTOBATAN: MEMETIK BUAH PEDULI
(LUK 15:11-32)
 
Kita tentu pernah mendengar ungkapan ini, Tuhan ada di mana-mana, tapi pada kesempatan ini saya ingin menambahkan bahwa setan pun ada di mana-mana. Bahkan boleh dibilang jumlah pasukan dari setan jauh lebih banyak maka tak heran dosa dalam berbagai bentuk, ukuran dan jenisnya ada di mana-mana dan berpotensi untuk dilakukan oleh siapa saja. Kadang2 kebaikan itu terdesak oleh dosa karena tawaran dari setan biasanya lebih menarik, lebih indah, lebih menggiurkan dan mengundang selera (mengundang selera ini silahkan anda terjemahkan sendiri seturut apa yang anda pikirkan). Seandainya apa yang dikatakan oleh Yesus, apabila salah satu anggota tubuhmu berbuat dosa, penggallah atau cungkillah dijalankan secara lurus, saya yakin bahwa sebagian besar orang Kristen tentu cacad permanen termasuk saya yang sementara berbicara ini. Masa prapaskah yang sementara kita jalani bersama ini adalah suatu momen yang sangat berharga di mana kita diajak untuk menyadari dan merefleksikan ziarah di padang gurun hidup kita masing2. Dalam bacaan injil minggu pertama prapaskah dikisahkan secara singkat oleh penginjil Markus tentang situasi pencobaan yang dialami Yesus di padang gurun. Ada satu kalimat menarik dalam paparan kisah tersebut yaitu Yesus berada di antara binatang2 liar dan malaikat2 yang melayani Dia. Pada titik ini kita bisa melihat bagaimana Kemanusiaan Yesus ditantang di padang gurun. Hal yang sama juga dialami oleh kita. Bagaimana kita sering berada di antara binatang2 liar dan malaikat2, berada di antara dosa dan juga kebaikan. Tentunya kita tak mau untuk hidup bersama “binatang2 liar” ini tapi sering dalam kesadaran atau dalam ketidaksadaran kita telah berpihak pada “binatang2 liar” ini.  Untuk menghindari “binatang-binatang liar” dan lebih dekat pada “malaikat2” maka hal pertama yang harus dibuat adalah “mengerjakan keselamatan” itu sendiri. (Filip 2:12). Dan untuk sampai pada keselamatan itu maka pertobatan adalah kuncinya. Apa itu pertobatan? Mari kita mulai dengan apa yang bukan pertobatan. Pertobatan bukanlah peristiwa yang hanya satu kali saja yang membawa kita dalam kehidupan bersama Kristus yang kemudian semua menjadi tinggal kenangan. (manusia kadang2 menjadi pelupa, hari ini bisa berkata saya tidak mau mengantuk lagi saat perayaan ekaristi, tetapi besok pagi saat perayaan ekaristi kita sudah melihat ada yg angguk2 kepala. Yang pasti bahwa bukan tanda setuju atau tanda hormat tapi lagi ngantuk parah). Pertobatan adalah sebuah hal yang perlu dilakukan terus menerus di dalam hidup kita.
Kata pertobatan dalam bahasa Yunani adalah, metanoia, yang secara harfiah berarti “perubahan pikiran.” Kata “noia” berasal dari akar kata “nous” yang artinya pikiran. Sedangkan awalan kata “meta” adalah sebuah preposisi Yunani yang dapat diartikan “dengan” atau “setelah.” Kata metanoia dalam Alkitab mengarahkan pertobatan dengan mengubah pikiran kita dengan cara berpikir Allah. Ketika seseorang bertobat, dia melihat segala sesuatu dalam hidupnya dari sudut pandang Allah. Kita melihat dosa sebagai dosa dan keluar dari pengaruh serta kekuasaan kerajaan maut. Namun kita tidak bisa melihat dosa sebagai dosa, sampai kita mengalami pewahyuan Allah dan kebenaran-Nya karena Allah adalah satu2nya yang benar. Jadi pertobatan sejati hanya dialami setelah kita mengalami jamahan Roh Kudus. Lebih khusus lagi, pertobatan adalah apa yang kita lakukan ketika kita telah menerima petunjuk Tuhan bagaimana Ia ingin bergerak dalam kehidupan kita.
Orang-orang Farisi sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab suci memandang pertobatan sebagai perubahan tingkah laku dan bukan perubahan pikiran; berhenti melakukan tindakan-tindakan “dosa” tertentu  dan mulai melakukan tindakan-tindakan “suci” lainnya.  Berhenti melanggar perintah-perintah Allah dan mulai mengikutinya sebaik mungkin. Ini merupakan inti dari prinsip hidup keagamaan orang2 farisi. Sayangnya bahwa prinsip hidup tentang pertobatan dari orang Farisi hampir sama dengan yang dipegang oleh banyak orang Kristen saat ini (mudah2an saya dan para frater sekalian tidak) seperti berhenti minum minuman keras, berhenti merokok, berkata kotor, berbohong dan mulai membaca Alkitab, tidak mengantuk saat meditasi kitab suci dan saat perayaan ekaristi, menggunakan uang kongregasi dengan baik, rajin berdoa dan belajar  dan sebagainya. Bila pertobatan hanya kita maknai sampai pada titik ini maka pertobatan itu kemudian akan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, dan terbuka kemungkinan untuk dosa yang sama selalu terulang. (boleh kita bilang pertobatan yang temporal, saat ditegur atau berada dihadapan oleh Pembina maka dalam sekejab ada perubahan tingkah laku.  Tetapi bila tidak ada Pembina atau tidak ditegur maka kebiasaan yang sama kembali terulang, atau istilah yang lebih tepat main kucing2an, menjadi semacam tom and jeryy dengan para Pembina. Biasanya para frater lebih “kreatif” dari para Pembina. Ada-ada saja cara untuk mengelabui para Pembina. Pada titik ini pertobatan itu hanya sampai pada perubahan tingkah laku dan belum sampai pada perubahan cara berpikir. Perubahan cara berpikir hanya akan ada bila kita melihat aturan bukan sebagai belenggu yg menyakitkan dan melihat para Pembina sebagai polisi).
Momen pertobatan dari anak yang hilang dalam bacaan injil yang kita bacakan bersama tadi  bukan hanya berhenti  pada saat dia “menyadari keadaan dirinya sendiri” karena ada bahaya bahwa saat kita menyadari diri kita sendiri di sana kita hanya akan menemukan diri kita sendiri. Tidak ada yang lain. Bahkan saat sang ayah lari menyongsong anaknya, si anak hilang itu  masih terus mengulangi idenya sendiri bahwa dia akan membayar hutang2 pada ayahnya; dia mau memperbaiki kesalahan dan membuat segalanya menjadi benar. Tetapi Ayahnya tidak pernah memerintahkan anaknya untuk menghentikan perkataan yang sudah dihafalnya akan tetapi ia terus melanjutkan memeluk dan mencium anaknya bahkan memberi perintah untuk menyiapkan pesta. Pada akhirnya si anak hilang menjadi terdiam – tidak ada pemikiran tentang apa yang ingin dia lakukan akan tetapi ia hanya menerima bahwa dia diterima oleh sang ayah. Ketika sampai pada titik ini si anak yang hilang melihat segala sesuatu dalam hidupnya bukan lagi dari sudut pandangnya tetapi melihatnya dari sudut pandang Bapanya. Anak yang hilang ini mengalami bukan saja perubahan tingkah laku tetapi juga sampai pada perubahan cara berpikir. Si anak hilang telah merubah cara berpikirnya. Si Anak hilang menerima kasih ayahnya dan dipulihkan, bukan karena sesuatu yang telah ia lakukan, tetapi hanya karena ia adalah anak dan dia dikasihi karena jati dirinya yang sebenarnya. Ini adalah momen yang sebenarnya dari sebuah pertobatan. Dari perubahan tingkah laku disempurnakan dengan perubahan cara berpikir. Si anak hilang melepas semua usaha pribadinya dan menerima kasih yang tidak pernah lelah menanti dirinya. Di sinilah letak pertobatan yang sejati yaitu saat ketika kita sudah menyadari keadaan diri kita, kita lalu mengijinkan kasih Allah memeluk kita, dan kita menerima bahwa kita diterima di dalam Yesus Kristus serta dikasihi oleh Pencipta kita.
Para frater yang terkasih………
Itulah makna pertobatan yang sejati. Tentu kita bertanya, dimanakah letak hubungan antara pertobatan dan memetik buah peduli itu. Lawan terberat dari sikap peduli adalah egoism dan kita tahu bahwa egoism itu adalah akar dari segala kejahatan. Sikap egois telah ditunjukan si anak yang hilang dalam awal perumpamaan Yesus itu. Ia lebih mementingkan keadaan dirinya dan berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan kasih Bapaknya. (agak kepala batu anak bungsu ini, mungkin karena terlalu dimanja). Hukum Yahudi mengharuskan orang tua mewariskan kekayaannya kepada anak-anaknya. Anak sulung selalu mendapat dua bagian / dua kali lipat dari anak-anak yang lain. Jadi, dalam kasus ini, karena bapa itu mempunyai dua anak, maka anak sulung mendapat 2/3 bagian, sedang anak bungsu mendapat 1/3 bagian. Jadi, ia memang seharusnya mempunyai bagian warisan, tetapi hal yang kurang ajar dari anak bungsu itu adalah bahwa ia memintanya selagi ayahnya masih hidup. Seakan-akan ia berkata: ‘Kalau kamu mati, itu toh menjadi milikkku, jadi berikan sekarang saja, anggap saja kamu sudah mati!’.  (untung saja dia tidak berpikir untuk membunuh bapaknya). Setelah ayahnya menuruti permintaannya, anak bungsu itu menjual segala miliknya / warisannya, lalu pergi meninggalkan ayahnya.
Ia memang tidak merampok, menyakiti, atau membunuh bapanya; ia hanya menjauhinya dan tidak mempedulikannya! Sebetulnya inilah tujuannya. Inti dari keinginannya adalah bahwa ia tidak mau hidup dikuasai / diatur ayahnya. Ia ingin bebas, sehingga bisa berfoya-foya dan mencari kesenangan sesuka hatinya dan inilah letak keegoisannya. Sikap egois yang sama juga dimiliki oleh anak yang sulung. Setelah melihat bahwa adiknya diterima dan dipestakan oleh Bapaknya, Ia menjadi marah dan tidak mau ikut pesta itu (ay 28). Ia juga iri hati (ay 29-30). Anak sulung berkata: untuk anak bungsu bapanya menyembelih anak lembu tambun, sedangkan untuknya bapanya tidak pernah menyembelih seekor anak kambing sekalipun. (kambing saja tidak apalagi lembu) Saya berpendapat bahwa kata-kata anak sulung ini belum tentu benar. Adalah biasa orang merasa dirinya tidak diberkati pada waktu iri hati melihat orang lain diberkati. Ia meninggikan dirinya sendiri dan menjelek-jelekkan adiknya (ay 29-30).    Ia mengaku bertahun-tahun melayani bapanya (ay 29a). Sesuatu yang menarik di sini adalah bahwa kata ‘melayani’ dalam bahasa Yunaninya tidak menggunakan kata DIAKONEO, yang artinya adalah ‘I serve’ (= aku melayani), tetapi menggunakan DOULEUO, yang artinya adalah ‘I serve as a slave (= aku melayani sebagai hamba / aku menghambakan diri). Bandingkan kata DOULEUO ini dengan kata DOULOS yang berarti hamba / budak. Jadi anak sulung ini tidak melayani dengan kasih / sukacita, karena ia menganggap diri, melayani sebagai budak / hamba! Dari sikap2 yang ditunjukkan anak sulung ini ternyata bahwa dia pun seorang yang egois dan tidak peduli dengan adiknya dan juga Bapaknya.
Dari dua kenyataan ini kita bisa melihat bagaimana pertobatan yang sejati itu perlu dibarengi dengan sikap peduli seperti yang ditunjukkan oleh sang Bapak dalam perumpamaan anak yang hilang. Perhatikan bahwa saat di rumah, ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari rumah, ia bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16 berkata, tidak seorangpun yang memberi kepadanya. Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak ini sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli padanya di tempat ini. Dan setelah dia pergi menghabiskan hartanya dan pulang dalam keadaan babak belur, Bapa itu memerintahkan supaya anak itu diberi jubah, cincin dan sepatu (ay 22)     Bapa itu menyuruh memberi jubah (bukan koteka!) yang adalah tanda kehormatan (Ester 6:8-9).   Bapa itu menyuruh memberi cincin, yang merupakan pemberian otoritas (Ester 3:10 8:2) Bapa itu menyuruh memberi sepatu (ini seharusnya adalah ‘sandal’). Perlu diketahui bahwa seorang hamba selalu telanjang kaki! Bahkan Bapa itu mengadakan pesta untuknya. Semua pemberian ini menunjukkan secara jelas bahwa Bapa itu menerima anak itu sebagai anak dan melupakan apa yang telah dilakukan oleh anaknya! Dan inilah tanda kepedulian Bapak. Berangkat dari hal ini kita tahu bahwa Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar menyayangi kita adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih dari Allah.
Para frater yang terkasih……
Kita terkadang bersikap seperti anak yang hilang dan anak sulung itu. Melalui pertobatan yang terus menerus kita akan dibentuk untuk menjadi sama seperti pribadi Kristus. Menjadi orang yang baik tidaklah cukup, karena kitab suci tidak hanya memberikan standar moral. Moralitas tidak bisa menggantikan pertobatan, namun pertobatan pasti diikuti oleh sikap moral yang baik. Tujuan dari penebusan Kristus di kayu salib tujuannya bukan hanya membuat kita menjadi “orang baik” namun agar Anda menjadi serupa dan segambar dengan Kristus Yesus.Untuk menjadikan gaya hidup pertobatan ini menjadi milik kita, maka persyaratan utamanya adalah memiliki tobat yang sejati dan memiliki sikap peduli seperti Bapak dalam perumpamaan anak yang hilang. Hanya melalui pertobatan yang terus menerus inilah kita akan mengalami pemulihan demi pemulihan. Kita perlu memetik buah2 peduli dengan pertama-tama kita merubah cara berpikir kita dan membiarkan diri dipeluk oleh kasih Allah dan membiarkan Allah bergerak di dalam diri kita masing2. Amin.
Pertanyaan refleksi:
1.      Cobalah kita berefleksi, dalam diri kita kekuasaan mana yang lebih dominan, kekuasaan  kebaikan atau kejahatan dan usaha2 apa saja yang sudah saya buat untuk menghindari pengaruh2 dari “binatang2 liar” di sekitar saya.
2.      Apakah pertobatan saya hanya sebatas menyadari keadaaan diri atau sudah sampai pada tingkat merubah cara berpikir
3.      Apakah saya seorang yang egois?
4.      Apa yang menjadi komitmen saya dalam usaha saya untuk menjadi serupa dan segambar dengan Kristus Yesus!
SESI II:
BERBAGI BUAH PERTOBATAN
(LUK 3:3-14)
Para Frater yang terkasih…..
Dalam renungan sesi pertama, kita sudah merenungkan bersama arti pertobatan yang sejati.  Kata “bertobat” berarti “perubahan pikiran.” Kita  juga sudah tahu bahwa pertobatan yang sejati akan menghasilkan perubahan tindakan seperti yang dialami oleh anak bungsu dalam perumpamaan Yesus ttg anak yang hilang. Singkatnya bahwa pertobatan yang sepenuhnya secara Alkitabiah adalah perubahan pikiran yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Pertobatan yang menuntun pada keselamatan pasti menghasilkan suatu karya atau dengan kata lain menghasilkan buah dari pertobatan itu sendiri.  Seringkali kita bingung dan bertanya2 bagaimana kita dapat mengenali apakah pohon mangga yang ada di hadapan kita adalah sebatang pohon yang baik atau tidak? Kalau pun ada yang  mempromosikan bahwa pohon mangga yang ada di hadapan kita adalah pohon yang baik, promosi itu tak akan menjamin bahwa pohon itu pasti baik. Bahkan kalau semisalkan pohon mangga itu dapat berbicara serta berkata: "saya adalah pohon mangga yang bagus," pengakuan si pohon mangga itu juga tidak dapat menjadi jaminan yang bersifat pasti. Langkah yang paling sederhana dan  paling akurat untuk mengetahui apakah pohon mangga yang di depan kita pohon yang baik atau tidak adalah dengan mencicipi buah yang dihasilkannya. Kalau buah mangga yang dihasilkan pohon itu terasa manis dan enak, pastilah ia pohon yang baik. Sebaliknya bila buah yang dihasilkan terasa masam tak usah diperdebatkan lagi pasti ia adalah pohon yang tidak  baik. Dengan kata lain, buah merupakan bukti dari kualitas yang tak nampak secara langsung bila kita ingin melihatnya pada batang pohon.
Itulah yang dikatakan oleh Yohanes seperti yang kita bacakan bersama dalam injil tadi tentang bukti pertobatan dalam diri seseorang. Tidaklah mudah untuk kita mengetahui apakah seseorang sungguh-sungguh sudah bertobat hanya dengan menilik dari apa yang ia katakan ataupun lakukan sesaat. Hanya dengan menilik buah pertobatan, yaitu produk kehidupannyalah kita dapat mengambil kesimpulan yang lebih tepat tentang kesungguhan pertobatan yang orang yang bersangkutan. Sebagaimana dengan buah sebatang pohon tak dihasilkan secara instant, namun memerlukan waktu yang relatif cukup panjang dari sejak pohon itu ditanam, demikian juga dengan buah kehidupan yang menjadi pertanda dari pertobatan. Kita tak dapat mengandalkan pengakuan maupun tindakan sesaat sebagai bukti dari pertobatan kita. Seperti yang saya katakan semalam, manusia kadang pelupa sehingga kadang pertobatannya pun bersifat temporal, bersifat mana suka.

Bukti pertobatan . Pertobatan tidak dapat disebut sebagai pertobatan apabila itu hanya sampai kepada pemahaman serta penyesalan. Memang kesadaran dan rasa duka karena dosa itu sangat penting, namun Yohanes Pembaptis dengan tegas mengatakan bahwa diperlukan tindakan-tindakan nyata yang merupakan wujud dari keputusan di dalam pertobatan. Tindakan-tindakan inilah yang disebutnya sebagai buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dengan kata lain, sebagaimana buah merupakan bukti dari kualitas sebatang pohon, demikian juga tindakan-tindakan yang merupakan produk dari pertobatan merupakan bukti apakah seseorang sungguh-sungguh bertobat atau tidak. Di dalam menyampaikan pesan pertobatan ini Yohanes Pembaptis bersikap tidak pandang bulu. Baik kepada para pemuka agama di masa itu, maupun kepada orang kaya, juga kepada pemungut cukai dan prajurit yang datang kepadanya Yohanes menyampaikan pesan yang sama, yaitu bahwa mereka harus bertobat dan menunjukkan pertobatan tersebut dalam buah-buah kehidupan yang selaras dengan pertobatan itu. Terhadap para pemuka agama Yahudi yang ia sebut sebagai ular beludak dan yang menggangap diri mereka istimewa sebab mereka adalah keturunan Abraham, Yohanes berkata bahwa keberadaan diri sebagai keturunan Abraham tidak akan dengan sendirinya membuat mereka terlepas dari murka Tuhan. Mereka harus meninggalkan kemunafikan dan hidup dalam kehidupan yang menunjukkan buah pertobatan. Pesan ini di masa sekarang dapat disejajarkan dengan peringatan untuk kita sekalian, yaitu bahwa jubah yang saya dan anda sekalian kenakan bukanlah jaminan akan bebas dari hukuman Tuhan kecuali bila kita selalu membangun pertobatan yang terus menerus untuk mendatangkan pemulihan demi pemulihan. Terhadap orang yang kaya Yohanes menegaskan bahwa mereka harus menghasilkan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa mereka tak lagi hidup hanya memikirkan kenikmatan diri sendiri. Ada banyak calon imam dan imam lebih memilih untuk mendahulukan kepentingannya. Terhadap pemungut cukai yang telah menghisap keuntungan di atas penderitaan rakyat Yohanes mengatakan bahwa mereka harus meninggalkan praktek penipuan dan pemerasan yang selama ini telah mereka kerjakan. Adalah bahaya bila kita yang hendak hidup selibat dan yang sudah hidup selibat bertindak bak parasit. Menggunakan uang kongregasi untuk hal2 yang tidak penting. Terhadap para prajurit Yohanes tanpa tedeng aling-aling memperingatkan agar mereka tak lagi merampas hak rakyat namun hidup dengan apa yang memang merupakan haknya. Ada istilah makan dua piring. Semua ini merupakan buah pertobatan yang menjadi bukti dari kesungguhan pertobatan mereka.
Pentingnya buah pertobatan Mengapa buah pertobatan ini diperlukan? Bukankah Tuhan dapat melihat hati manusia tanpa harus melihat tindakan yang mereka buat? Bukahkah tak jarang perbuatan manusia tidak sesuai dengan hatinya, seperti orang yang ocial sedekah walaupun sebenarnya hati yang bersangkutan tak rela memberikan yang ia berikan?
Buah pertobatan ini penting sebab pertobatan haruslah menyangkut keseluruhan diri untuk meninggalkan dosa. Keseluruhan diri, baik secara intelektual yaitu dalam bentuk kesadaran dan pemahaman akan dosa; emosional yaitu dalam bentuk penyesalan dan duka karena dosa; dan tindakan oleh dorongan kehendak meninggalkan dosa. Ketiga kapasitas dalam diri manusia, intelek, emosi dan kehendak harus terlibat di dalamnya. Baru dengan demikian pertobatan tersebut akan menjadi pertobatan yang bersifat total. Memang Tuhan dapat menguji hati manusia tanpa harus melihat apa yang ia perbuat, namun kita sebagai manusia tak dapat menguji diri kita sendiri tanpa melihat apa yang kita lakukan. Dengan kata lain, buah-buah pertobatan yang kita hasilkan sangatlah penting untuk meneguhkan diri kita sendiri. Dengan demikian kita akan dapat mengukur sejauh apa keseriusan kita di dalam membuat keputusan untuk meninggalkan dosa dan hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Apa yang akan kita lakukan bila kita telah menghasilkan buah pertobatan di dalam hidup kita? yang harus kita lukan adalah berbagi buah pertobatan itu sendiri sebagai bentuk kesaksian bagi orang lain, sehingga dengan demikian bukan saja buah pertobatan tersebut merupakan bentuk yang nyata dan alamiah dari hidup yang meninggalkan dosa, tetapi ia juga menjadi sarana untuk membuka hati orang lain untuk
TIBA kepada pertobatan yang sama. Perbedaan pola hidup kita sebelum dan sesudah bertobat akan membuat orang bertanya di dalam hati: “Apa yang telah membuat orang ini berubah? Kalau dahulu frater ini malas sekali ketika bekerja, mengapa sekarang saat orang lain istirahat siang dia masih terus bekerja? Kalau dahulu ia sangat egois mengapa sekarang tidak lagi demikian?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan membuka hati bagi yang bersangkutan untuk mengalami anugerah Tuhan yang membaharui hidup seperti yang telah kita alami. Dengan demikian berarti bila kita menginginkan hari-hari yang kita lalui merupakan hari-hari yang produktif penting bagi kita untuk senantiasa memelihara hati yang terus menerus semangat pertobatan. Dengan demikian hidup kita akan senantiasa menghasilkan buah pertobatan. Dengan begitu perilaku kehidupan kita sehari-hari akan selaras dengan keputusan pertobatan yang telah kita buat. Bukan saja hal ini akan menyehatkan jiwa kita, yaitu intelek, emosi dan kehendak kita, tetapi tentu saja akan menyehatkan rohani kita, dan yang pada gilirannya akan menyehatkan relasi kita dengan social. Bukankah kesehatan rohani, jiwani dan social itu yang membuat hidup kita bermakna? Berarti dengan senantiasa menghasilkan buah pertobatan kita membangun kehidupan yang semakin bermakna.