Jumat, 05 Juni 2015

PERTOBATAN: MEMETIK BUAH PEDULI DAN BERBAGI

SESI I:
PERTOBATAN: MEMETIK BUAH PEDULI
(LUK 15:11-32)
 
Kita tentu pernah mendengar ungkapan ini, Tuhan ada di mana-mana, tapi pada kesempatan ini saya ingin menambahkan bahwa setan pun ada di mana-mana. Bahkan boleh dibilang jumlah pasukan dari setan jauh lebih banyak maka tak heran dosa dalam berbagai bentuk, ukuran dan jenisnya ada di mana-mana dan berpotensi untuk dilakukan oleh siapa saja. Kadang2 kebaikan itu terdesak oleh dosa karena tawaran dari setan biasanya lebih menarik, lebih indah, lebih menggiurkan dan mengundang selera (mengundang selera ini silahkan anda terjemahkan sendiri seturut apa yang anda pikirkan). Seandainya apa yang dikatakan oleh Yesus, apabila salah satu anggota tubuhmu berbuat dosa, penggallah atau cungkillah dijalankan secara lurus, saya yakin bahwa sebagian besar orang Kristen tentu cacad permanen termasuk saya yang sementara berbicara ini. Masa prapaskah yang sementara kita jalani bersama ini adalah suatu momen yang sangat berharga di mana kita diajak untuk menyadari dan merefleksikan ziarah di padang gurun hidup kita masing2. Dalam bacaan injil minggu pertama prapaskah dikisahkan secara singkat oleh penginjil Markus tentang situasi pencobaan yang dialami Yesus di padang gurun. Ada satu kalimat menarik dalam paparan kisah tersebut yaitu Yesus berada di antara binatang2 liar dan malaikat2 yang melayani Dia. Pada titik ini kita bisa melihat bagaimana Kemanusiaan Yesus ditantang di padang gurun. Hal yang sama juga dialami oleh kita. Bagaimana kita sering berada di antara binatang2 liar dan malaikat2, berada di antara dosa dan juga kebaikan. Tentunya kita tak mau untuk hidup bersama “binatang2 liar” ini tapi sering dalam kesadaran atau dalam ketidaksadaran kita telah berpihak pada “binatang2 liar” ini.  Untuk menghindari “binatang-binatang liar” dan lebih dekat pada “malaikat2” maka hal pertama yang harus dibuat adalah “mengerjakan keselamatan” itu sendiri. (Filip 2:12). Dan untuk sampai pada keselamatan itu maka pertobatan adalah kuncinya. Apa itu pertobatan? Mari kita mulai dengan apa yang bukan pertobatan. Pertobatan bukanlah peristiwa yang hanya satu kali saja yang membawa kita dalam kehidupan bersama Kristus yang kemudian semua menjadi tinggal kenangan. (manusia kadang2 menjadi pelupa, hari ini bisa berkata saya tidak mau mengantuk lagi saat perayaan ekaristi, tetapi besok pagi saat perayaan ekaristi kita sudah melihat ada yg angguk2 kepala. Yang pasti bahwa bukan tanda setuju atau tanda hormat tapi lagi ngantuk parah). Pertobatan adalah sebuah hal yang perlu dilakukan terus menerus di dalam hidup kita.
Kata pertobatan dalam bahasa Yunani adalah, metanoia, yang secara harfiah berarti “perubahan pikiran.” Kata “noia” berasal dari akar kata “nous” yang artinya pikiran. Sedangkan awalan kata “meta” adalah sebuah preposisi Yunani yang dapat diartikan “dengan” atau “setelah.” Kata metanoia dalam Alkitab mengarahkan pertobatan dengan mengubah pikiran kita dengan cara berpikir Allah. Ketika seseorang bertobat, dia melihat segala sesuatu dalam hidupnya dari sudut pandang Allah. Kita melihat dosa sebagai dosa dan keluar dari pengaruh serta kekuasaan kerajaan maut. Namun kita tidak bisa melihat dosa sebagai dosa, sampai kita mengalami pewahyuan Allah dan kebenaran-Nya karena Allah adalah satu2nya yang benar. Jadi pertobatan sejati hanya dialami setelah kita mengalami jamahan Roh Kudus. Lebih khusus lagi, pertobatan adalah apa yang kita lakukan ketika kita telah menerima petunjuk Tuhan bagaimana Ia ingin bergerak dalam kehidupan kita.
Orang-orang Farisi sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab suci memandang pertobatan sebagai perubahan tingkah laku dan bukan perubahan pikiran; berhenti melakukan tindakan-tindakan “dosa” tertentu  dan mulai melakukan tindakan-tindakan “suci” lainnya.  Berhenti melanggar perintah-perintah Allah dan mulai mengikutinya sebaik mungkin. Ini merupakan inti dari prinsip hidup keagamaan orang2 farisi. Sayangnya bahwa prinsip hidup tentang pertobatan dari orang Farisi hampir sama dengan yang dipegang oleh banyak orang Kristen saat ini (mudah2an saya dan para frater sekalian tidak) seperti berhenti minum minuman keras, berhenti merokok, berkata kotor, berbohong dan mulai membaca Alkitab, tidak mengantuk saat meditasi kitab suci dan saat perayaan ekaristi, menggunakan uang kongregasi dengan baik, rajin berdoa dan belajar  dan sebagainya. Bila pertobatan hanya kita maknai sampai pada titik ini maka pertobatan itu kemudian akan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, dan terbuka kemungkinan untuk dosa yang sama selalu terulang. (boleh kita bilang pertobatan yang temporal, saat ditegur atau berada dihadapan oleh Pembina maka dalam sekejab ada perubahan tingkah laku.  Tetapi bila tidak ada Pembina atau tidak ditegur maka kebiasaan yang sama kembali terulang, atau istilah yang lebih tepat main kucing2an, menjadi semacam tom and jeryy dengan para Pembina. Biasanya para frater lebih “kreatif” dari para Pembina. Ada-ada saja cara untuk mengelabui para Pembina. Pada titik ini pertobatan itu hanya sampai pada perubahan tingkah laku dan belum sampai pada perubahan cara berpikir. Perubahan cara berpikir hanya akan ada bila kita melihat aturan bukan sebagai belenggu yg menyakitkan dan melihat para Pembina sebagai polisi).
Momen pertobatan dari anak yang hilang dalam bacaan injil yang kita bacakan bersama tadi  bukan hanya berhenti  pada saat dia “menyadari keadaan dirinya sendiri” karena ada bahaya bahwa saat kita menyadari diri kita sendiri di sana kita hanya akan menemukan diri kita sendiri. Tidak ada yang lain. Bahkan saat sang ayah lari menyongsong anaknya, si anak hilang itu  masih terus mengulangi idenya sendiri bahwa dia akan membayar hutang2 pada ayahnya; dia mau memperbaiki kesalahan dan membuat segalanya menjadi benar. Tetapi Ayahnya tidak pernah memerintahkan anaknya untuk menghentikan perkataan yang sudah dihafalnya akan tetapi ia terus melanjutkan memeluk dan mencium anaknya bahkan memberi perintah untuk menyiapkan pesta. Pada akhirnya si anak hilang menjadi terdiam – tidak ada pemikiran tentang apa yang ingin dia lakukan akan tetapi ia hanya menerima bahwa dia diterima oleh sang ayah. Ketika sampai pada titik ini si anak yang hilang melihat segala sesuatu dalam hidupnya bukan lagi dari sudut pandangnya tetapi melihatnya dari sudut pandang Bapanya. Anak yang hilang ini mengalami bukan saja perubahan tingkah laku tetapi juga sampai pada perubahan cara berpikir. Si anak hilang telah merubah cara berpikirnya. Si Anak hilang menerima kasih ayahnya dan dipulihkan, bukan karena sesuatu yang telah ia lakukan, tetapi hanya karena ia adalah anak dan dia dikasihi karena jati dirinya yang sebenarnya. Ini adalah momen yang sebenarnya dari sebuah pertobatan. Dari perubahan tingkah laku disempurnakan dengan perubahan cara berpikir. Si anak hilang melepas semua usaha pribadinya dan menerima kasih yang tidak pernah lelah menanti dirinya. Di sinilah letak pertobatan yang sejati yaitu saat ketika kita sudah menyadari keadaan diri kita, kita lalu mengijinkan kasih Allah memeluk kita, dan kita menerima bahwa kita diterima di dalam Yesus Kristus serta dikasihi oleh Pencipta kita.
Para frater yang terkasih………
Itulah makna pertobatan yang sejati. Tentu kita bertanya, dimanakah letak hubungan antara pertobatan dan memetik buah peduli itu. Lawan terberat dari sikap peduli adalah egoism dan kita tahu bahwa egoism itu adalah akar dari segala kejahatan. Sikap egois telah ditunjukan si anak yang hilang dalam awal perumpamaan Yesus itu. Ia lebih mementingkan keadaan dirinya dan berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan kasih Bapaknya. (agak kepala batu anak bungsu ini, mungkin karena terlalu dimanja). Hukum Yahudi mengharuskan orang tua mewariskan kekayaannya kepada anak-anaknya. Anak sulung selalu mendapat dua bagian / dua kali lipat dari anak-anak yang lain. Jadi, dalam kasus ini, karena bapa itu mempunyai dua anak, maka anak sulung mendapat 2/3 bagian, sedang anak bungsu mendapat 1/3 bagian. Jadi, ia memang seharusnya mempunyai bagian warisan, tetapi hal yang kurang ajar dari anak bungsu itu adalah bahwa ia memintanya selagi ayahnya masih hidup. Seakan-akan ia berkata: ‘Kalau kamu mati, itu toh menjadi milikkku, jadi berikan sekarang saja, anggap saja kamu sudah mati!’.  (untung saja dia tidak berpikir untuk membunuh bapaknya). Setelah ayahnya menuruti permintaannya, anak bungsu itu menjual segala miliknya / warisannya, lalu pergi meninggalkan ayahnya.
Ia memang tidak merampok, menyakiti, atau membunuh bapanya; ia hanya menjauhinya dan tidak mempedulikannya! Sebetulnya inilah tujuannya. Inti dari keinginannya adalah bahwa ia tidak mau hidup dikuasai / diatur ayahnya. Ia ingin bebas, sehingga bisa berfoya-foya dan mencari kesenangan sesuka hatinya dan inilah letak keegoisannya. Sikap egois yang sama juga dimiliki oleh anak yang sulung. Setelah melihat bahwa adiknya diterima dan dipestakan oleh Bapaknya, Ia menjadi marah dan tidak mau ikut pesta itu (ay 28). Ia juga iri hati (ay 29-30). Anak sulung berkata: untuk anak bungsu bapanya menyembelih anak lembu tambun, sedangkan untuknya bapanya tidak pernah menyembelih seekor anak kambing sekalipun. (kambing saja tidak apalagi lembu) Saya berpendapat bahwa kata-kata anak sulung ini belum tentu benar. Adalah biasa orang merasa dirinya tidak diberkati pada waktu iri hati melihat orang lain diberkati. Ia meninggikan dirinya sendiri dan menjelek-jelekkan adiknya (ay 29-30).    Ia mengaku bertahun-tahun melayani bapanya (ay 29a). Sesuatu yang menarik di sini adalah bahwa kata ‘melayani’ dalam bahasa Yunaninya tidak menggunakan kata DIAKONEO, yang artinya adalah ‘I serve’ (= aku melayani), tetapi menggunakan DOULEUO, yang artinya adalah ‘I serve as a slave (= aku melayani sebagai hamba / aku menghambakan diri). Bandingkan kata DOULEUO ini dengan kata DOULOS yang berarti hamba / budak. Jadi anak sulung ini tidak melayani dengan kasih / sukacita, karena ia menganggap diri, melayani sebagai budak / hamba! Dari sikap2 yang ditunjukkan anak sulung ini ternyata bahwa dia pun seorang yang egois dan tidak peduli dengan adiknya dan juga Bapaknya.
Dari dua kenyataan ini kita bisa melihat bagaimana pertobatan yang sejati itu perlu dibarengi dengan sikap peduli seperti yang ditunjukkan oleh sang Bapak dalam perumpamaan anak yang hilang. Perhatikan bahwa saat di rumah, ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari rumah, ia bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16 berkata, tidak seorangpun yang memberi kepadanya. Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak ini sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli padanya di tempat ini. Dan setelah dia pergi menghabiskan hartanya dan pulang dalam keadaan babak belur, Bapa itu memerintahkan supaya anak itu diberi jubah, cincin dan sepatu (ay 22)     Bapa itu menyuruh memberi jubah (bukan koteka!) yang adalah tanda kehormatan (Ester 6:8-9).   Bapa itu menyuruh memberi cincin, yang merupakan pemberian otoritas (Ester 3:10 8:2) Bapa itu menyuruh memberi sepatu (ini seharusnya adalah ‘sandal’). Perlu diketahui bahwa seorang hamba selalu telanjang kaki! Bahkan Bapa itu mengadakan pesta untuknya. Semua pemberian ini menunjukkan secara jelas bahwa Bapa itu menerima anak itu sebagai anak dan melupakan apa yang telah dilakukan oleh anaknya! Dan inilah tanda kepedulian Bapak. Berangkat dari hal ini kita tahu bahwa Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang benar-benar menyayangi kita adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih dari Allah.
Para frater yang terkasih……
Kita terkadang bersikap seperti anak yang hilang dan anak sulung itu. Melalui pertobatan yang terus menerus kita akan dibentuk untuk menjadi sama seperti pribadi Kristus. Menjadi orang yang baik tidaklah cukup, karena kitab suci tidak hanya memberikan standar moral. Moralitas tidak bisa menggantikan pertobatan, namun pertobatan pasti diikuti oleh sikap moral yang baik. Tujuan dari penebusan Kristus di kayu salib tujuannya bukan hanya membuat kita menjadi “orang baik” namun agar Anda menjadi serupa dan segambar dengan Kristus Yesus.Untuk menjadikan gaya hidup pertobatan ini menjadi milik kita, maka persyaratan utamanya adalah memiliki tobat yang sejati dan memiliki sikap peduli seperti Bapak dalam perumpamaan anak yang hilang. Hanya melalui pertobatan yang terus menerus inilah kita akan mengalami pemulihan demi pemulihan. Kita perlu memetik buah2 peduli dengan pertama-tama kita merubah cara berpikir kita dan membiarkan diri dipeluk oleh kasih Allah dan membiarkan Allah bergerak di dalam diri kita masing2. Amin.
Pertanyaan refleksi:
1.      Cobalah kita berefleksi, dalam diri kita kekuasaan mana yang lebih dominan, kekuasaan  kebaikan atau kejahatan dan usaha2 apa saja yang sudah saya buat untuk menghindari pengaruh2 dari “binatang2 liar” di sekitar saya.
2.      Apakah pertobatan saya hanya sebatas menyadari keadaaan diri atau sudah sampai pada tingkat merubah cara berpikir
3.      Apakah saya seorang yang egois?
4.      Apa yang menjadi komitmen saya dalam usaha saya untuk menjadi serupa dan segambar dengan Kristus Yesus!
SESI II:
BERBAGI BUAH PERTOBATAN
(LUK 3:3-14)
Para Frater yang terkasih…..
Dalam renungan sesi pertama, kita sudah merenungkan bersama arti pertobatan yang sejati.  Kata “bertobat” berarti “perubahan pikiran.” Kita  juga sudah tahu bahwa pertobatan yang sejati akan menghasilkan perubahan tindakan seperti yang dialami oleh anak bungsu dalam perumpamaan Yesus ttg anak yang hilang. Singkatnya bahwa pertobatan yang sepenuhnya secara Alkitabiah adalah perubahan pikiran yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Pertobatan yang menuntun pada keselamatan pasti menghasilkan suatu karya atau dengan kata lain menghasilkan buah dari pertobatan itu sendiri.  Seringkali kita bingung dan bertanya2 bagaimana kita dapat mengenali apakah pohon mangga yang ada di hadapan kita adalah sebatang pohon yang baik atau tidak? Kalau pun ada yang  mempromosikan bahwa pohon mangga yang ada di hadapan kita adalah pohon yang baik, promosi itu tak akan menjamin bahwa pohon itu pasti baik. Bahkan kalau semisalkan pohon mangga itu dapat berbicara serta berkata: "saya adalah pohon mangga yang bagus," pengakuan si pohon mangga itu juga tidak dapat menjadi jaminan yang bersifat pasti. Langkah yang paling sederhana dan  paling akurat untuk mengetahui apakah pohon mangga yang di depan kita pohon yang baik atau tidak adalah dengan mencicipi buah yang dihasilkannya. Kalau buah mangga yang dihasilkan pohon itu terasa manis dan enak, pastilah ia pohon yang baik. Sebaliknya bila buah yang dihasilkan terasa masam tak usah diperdebatkan lagi pasti ia adalah pohon yang tidak  baik. Dengan kata lain, buah merupakan bukti dari kualitas yang tak nampak secara langsung bila kita ingin melihatnya pada batang pohon.
Itulah yang dikatakan oleh Yohanes seperti yang kita bacakan bersama dalam injil tadi tentang bukti pertobatan dalam diri seseorang. Tidaklah mudah untuk kita mengetahui apakah seseorang sungguh-sungguh sudah bertobat hanya dengan menilik dari apa yang ia katakan ataupun lakukan sesaat. Hanya dengan menilik buah pertobatan, yaitu produk kehidupannyalah kita dapat mengambil kesimpulan yang lebih tepat tentang kesungguhan pertobatan yang orang yang bersangkutan. Sebagaimana dengan buah sebatang pohon tak dihasilkan secara instant, namun memerlukan waktu yang relatif cukup panjang dari sejak pohon itu ditanam, demikian juga dengan buah kehidupan yang menjadi pertanda dari pertobatan. Kita tak dapat mengandalkan pengakuan maupun tindakan sesaat sebagai bukti dari pertobatan kita. Seperti yang saya katakan semalam, manusia kadang pelupa sehingga kadang pertobatannya pun bersifat temporal, bersifat mana suka.

Bukti pertobatan . Pertobatan tidak dapat disebut sebagai pertobatan apabila itu hanya sampai kepada pemahaman serta penyesalan. Memang kesadaran dan rasa duka karena dosa itu sangat penting, namun Yohanes Pembaptis dengan tegas mengatakan bahwa diperlukan tindakan-tindakan nyata yang merupakan wujud dari keputusan di dalam pertobatan. Tindakan-tindakan inilah yang disebutnya sebagai buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dengan kata lain, sebagaimana buah merupakan bukti dari kualitas sebatang pohon, demikian juga tindakan-tindakan yang merupakan produk dari pertobatan merupakan bukti apakah seseorang sungguh-sungguh bertobat atau tidak. Di dalam menyampaikan pesan pertobatan ini Yohanes Pembaptis bersikap tidak pandang bulu. Baik kepada para pemuka agama di masa itu, maupun kepada orang kaya, juga kepada pemungut cukai dan prajurit yang datang kepadanya Yohanes menyampaikan pesan yang sama, yaitu bahwa mereka harus bertobat dan menunjukkan pertobatan tersebut dalam buah-buah kehidupan yang selaras dengan pertobatan itu. Terhadap para pemuka agama Yahudi yang ia sebut sebagai ular beludak dan yang menggangap diri mereka istimewa sebab mereka adalah keturunan Abraham, Yohanes berkata bahwa keberadaan diri sebagai keturunan Abraham tidak akan dengan sendirinya membuat mereka terlepas dari murka Tuhan. Mereka harus meninggalkan kemunafikan dan hidup dalam kehidupan yang menunjukkan buah pertobatan. Pesan ini di masa sekarang dapat disejajarkan dengan peringatan untuk kita sekalian, yaitu bahwa jubah yang saya dan anda sekalian kenakan bukanlah jaminan akan bebas dari hukuman Tuhan kecuali bila kita selalu membangun pertobatan yang terus menerus untuk mendatangkan pemulihan demi pemulihan. Terhadap orang yang kaya Yohanes menegaskan bahwa mereka harus menghasilkan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa mereka tak lagi hidup hanya memikirkan kenikmatan diri sendiri. Ada banyak calon imam dan imam lebih memilih untuk mendahulukan kepentingannya. Terhadap pemungut cukai yang telah menghisap keuntungan di atas penderitaan rakyat Yohanes mengatakan bahwa mereka harus meninggalkan praktek penipuan dan pemerasan yang selama ini telah mereka kerjakan. Adalah bahaya bila kita yang hendak hidup selibat dan yang sudah hidup selibat bertindak bak parasit. Menggunakan uang kongregasi untuk hal2 yang tidak penting. Terhadap para prajurit Yohanes tanpa tedeng aling-aling memperingatkan agar mereka tak lagi merampas hak rakyat namun hidup dengan apa yang memang merupakan haknya. Ada istilah makan dua piring. Semua ini merupakan buah pertobatan yang menjadi bukti dari kesungguhan pertobatan mereka.
Pentingnya buah pertobatan Mengapa buah pertobatan ini diperlukan? Bukankah Tuhan dapat melihat hati manusia tanpa harus melihat tindakan yang mereka buat? Bukahkah tak jarang perbuatan manusia tidak sesuai dengan hatinya, seperti orang yang ocial sedekah walaupun sebenarnya hati yang bersangkutan tak rela memberikan yang ia berikan?
Buah pertobatan ini penting sebab pertobatan haruslah menyangkut keseluruhan diri untuk meninggalkan dosa. Keseluruhan diri, baik secara intelektual yaitu dalam bentuk kesadaran dan pemahaman akan dosa; emosional yaitu dalam bentuk penyesalan dan duka karena dosa; dan tindakan oleh dorongan kehendak meninggalkan dosa. Ketiga kapasitas dalam diri manusia, intelek, emosi dan kehendak harus terlibat di dalamnya. Baru dengan demikian pertobatan tersebut akan menjadi pertobatan yang bersifat total. Memang Tuhan dapat menguji hati manusia tanpa harus melihat apa yang ia perbuat, namun kita sebagai manusia tak dapat menguji diri kita sendiri tanpa melihat apa yang kita lakukan. Dengan kata lain, buah-buah pertobatan yang kita hasilkan sangatlah penting untuk meneguhkan diri kita sendiri. Dengan demikian kita akan dapat mengukur sejauh apa keseriusan kita di dalam membuat keputusan untuk meninggalkan dosa dan hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Apa yang akan kita lakukan bila kita telah menghasilkan buah pertobatan di dalam hidup kita? yang harus kita lukan adalah berbagi buah pertobatan itu sendiri sebagai bentuk kesaksian bagi orang lain, sehingga dengan demikian bukan saja buah pertobatan tersebut merupakan bentuk yang nyata dan alamiah dari hidup yang meninggalkan dosa, tetapi ia juga menjadi sarana untuk membuka hati orang lain untuk
TIBA kepada pertobatan yang sama. Perbedaan pola hidup kita sebelum dan sesudah bertobat akan membuat orang bertanya di dalam hati: “Apa yang telah membuat orang ini berubah? Kalau dahulu frater ini malas sekali ketika bekerja, mengapa sekarang saat orang lain istirahat siang dia masih terus bekerja? Kalau dahulu ia sangat egois mengapa sekarang tidak lagi demikian?” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan membuka hati bagi yang bersangkutan untuk mengalami anugerah Tuhan yang membaharui hidup seperti yang telah kita alami. Dengan demikian berarti bila kita menginginkan hari-hari yang kita lalui merupakan hari-hari yang produktif penting bagi kita untuk senantiasa memelihara hati yang terus menerus semangat pertobatan. Dengan demikian hidup kita akan senantiasa menghasilkan buah pertobatan. Dengan begitu perilaku kehidupan kita sehari-hari akan selaras dengan keputusan pertobatan yang telah kita buat. Bukan saja hal ini akan menyehatkan jiwa kita, yaitu intelek, emosi dan kehendak kita, tetapi tentu saja akan menyehatkan rohani kita, dan yang pada gilirannya akan menyehatkan relasi kita dengan social. Bukankah kesehatan rohani, jiwani dan social itu yang membuat hidup kita bermakna? Berarti dengan senantiasa menghasilkan buah pertobatan kita membangun kehidupan yang semakin bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar